Selasa, 22 Mei 2012

Kisah cinta Dr Soetomo dengan Everdina Broering

Sosok Dr Soetomo tak bisa dilepaskan dari kisah perjalanan bangsa Indonesia. Bersama EFE Douwes Dekker dan Dr Tjipto Mangunkusumo, pria kelahiran 30 Juli 1888 itu mendirikan organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Akibat kegigihannya, Indonesia mengalami tonggak baru dalam perjuangan kemerdekaan. Meski pengabdiannya tercatat dalam sejarah, mungkin tak banyak yang tahu kisah cinta tokoh Tiga Serangkai itu dengan sang istri, Everdina Broering, yang merupakan seorang perawat Belanda.

Keduanya pertama kali bertemu pada 1917, saat sama-sama bekerja di sebuah rumah sakit di Blora. Saat itu Dr Soetomo diperbantukan sebagai dokter di RS itu, sementara Everdina yang saat itu tengah sedih karena ditinggal mati sang suami, tengah mengisi kekosongan tenaga perawat di RS itu.


"Romannya yang pucat geraknya yang kurang berdaya itu, telah menarik perhatian saya. Saya ingin mengetahui penderitaan apakah yang sedang diderita oleh suster itu. Ternyata suster ini adalah orang yang lagi dirundung malang, sedang hidup dalam kesusahan," kata Dr Soetomo dalam buku 'Kenang-kenangan Dokter Soetomo', terbitan Penerbit Sinar Harapan, tahun 1984.

Sadar akan kesedihan yang tengah dialami Everdina, Dr Soetomo yang saat itu sudah merasa tertarik terus berusaha menghibur dan berusaha menghapus kesedihan wanita Belanda itu. Mereka akhirnya menjalin hubungan pertemanan.

Hubungan mereka terus berlanjut dan akhirnya berubah menjadi hubungan asmara. Keduanya kemudian sepakat untuk menikah. Namun, keputusan mereka itu mendapat tentangan dari teman sepergerakan Dr Soetomo dan keluarga Everdina. Sebagai tokoh pergerakan, Dr Soetomo dianggap tak pantas menikahi seorang wanita Belanda.

Tentangan dan penolakan itu tak lantas membuat mereka menyerah. Keduanya akhirnya tetap menikah. Kesetiaan, kesederhanaan dan perilaku Everdina kepada suami yang mirip seperti perempuan Jawa membuat Dr Soetomo semakin kagum kepada sang istri.

Pada 1919, Dr Soetomo mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mendalami ilmu penyakit kulit dan kelamin di Belanda. Kesempatan itu tak disia-siakannya, Dr Soetomo berusaha menjalin hubungan baik dengan keluarga sang istri.

Di Amsterdam, pasangan beda negara itu hidup dengan segala suka duka selama empat tahun lamanya. Meski hidup pas-pas an, Everdina tak pernah mengeluh, padahal saat itu Dr Soetomo kerap menjamu pemuda dan mahasiswa Indonesia di rumah kecilnya untuk berdiskusi tentang nasionalisme Indonesia.

Empat tahun berlalu, Dr Soetomo dan Everdina akhirnya kembali ke Indonesia. Meski belum juga dikarunia anak, keduanya tetap harmonis dan bahagia. Setelah kembali ke Indonesia, kegiatan Dr Soetomo semakin padat. Hal itu tentu saja ikut berpengaruh kepada kegiatan sang istri yang semakin bertambah banyak dan berat. Namun Everdina menjalaninya tanpa keluhan, Dr Soetomo pun sering terharu melihat pengorbanan sang istri.

Namun, dibalik ketegarannya, Everdina akhirnya jatuh sakit. Mereka akhirnya harus berpisah untuk sementara waktu karena saat itu Everdina harus tinggal di lokasi sejuk. Dua minggu sekali Dr Soetomo menjenguk sang istri di lereng Gunung Penanggungan, Celaket Malang.

Kondisi Everdina terus melemah. Wanita Belanda itu akhirnya meninggal di pangkuan Dr Soetomo pada 17 Februari 1934. Kematian sang istri menimbulkan kesedihan yang mendalam terhadap diri Dr Soetomo.

"Saya telah terserang malapetaka yang sangat hebat karena kematian istri saya pada hari bulan 17 Februari 1934," kata Dr Soetomo.

Hingga akhir hayatnya pada 29 Mei 1938, Dr Soetomo tidak pernah menikah lagi

1 komentar:

tinggalkan unek-unek dan komentar anda